Marc
Springer, Adalah Mantan Pimpinan Skinhead, yang lahir dari keluarga yang
sangat membenci Islam, tapi justru Islamlah yang menjadi keyakinan terakhirnya.
Siapa sangka
anak dari pasangan suami-istri yang berlatar belakang militer Amerika, yang
sangat membenci Islam, justru masuk Islam. Tapi itulah bukti
keagungan Allah SWT, yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang mau mencari
kebenaran, karna ratusan ayat dalam Al-Qur'an menuntut manusia untuk berfikir.
“Saya ingat
saat masih kecil, saya mendengar ayah suka mencerca orang-orang Arab dan
Muslim, mencela agama mereka, cara hidup dan ras mereka,” kata Marc Springer
mengenai masa lalunya. Ternyata
sang ayah bukan hanya membenci Muslim tanpa alasan, tetapi sering sekali
berkata dan bertindak kasar kepada seluruh anggota keluarga termasuk kepada ibu
serta kedua adik lelaki dan perempuannya. Sehingga Springer kecil tumbuh dalam
rasa takut di bawah didikan orang tua yang juga pecandu alkohol itu.
Springer pun
mencari ketenangan diri di luar rumah. Ia bertemu dan akrab dengan sekelompok
pemuda yang berkepala plontos (skinhead), yang berkeliaran di
jalan-jalan di sekitar rumahnya di Washington, Amerika. Justru kondisi tersebut
malah memperparah keadaan, kondisi Springer malah bertambah buruk setelah ia
mencukur habis seluruh rambut di kepalanya dan bergabung dengan kelompok
Skinhead. Ketika
usianya 16 tahun ia pun sempat tersentak saat seorang teman sekolahnya yang
berasal dari Meksiko berkata, “Mengapa kamu bergaul dengan para pecundang itu,
sebenarnya kamu bisa lebih baik dari pada mereka.” Namun, ia
malah terjerembab lebih dalam lagi. Menjadi pecandu alkohol, pengguna narkoba
dan sering berurusan dengan hukum. Setelah bertahun-tahun bergabung dengan
kelompok rasis Skinhead, ia menjadi sosok yang sangat sadis dan ditakuti sehingga
ia pun dinobatkan menjadi salah satu pimpinan gerakan Neo Nazi itu.
Springer
mengakui wataknya yang penuh kebencian dan sikap rasisnya, menurun dari
ayahnya. "Meski
saya membenci ayah karena semena-mena kepada keluarga, saya ingin seperti ayah.
Dari ayahlah, sikap rasis saya berasal," ungkap Springer. Ia pun
mengakui bahwa dia tidak mampu membungkam hati kecilnya yang menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah salah. Maka pada usia 23 tahun ia pun mulai membaca banyak buku
untuk menghilangkan resah hati nuraninya. Ia banyak
baca buku yang ia pinjam dari sebuah perpustakaan kecil. Mulai dari buku-buku
karya Kant, Descartes, sampai buku-bukunya Tariq Ramadan dan Edward Said. Ia menyadari bahwa
kehidupannya selama ini begitu kacau, dan ia mulai mempertanyakan banyak hal
tentang hidupnya, termasuk keyakinan agamanya.
Sejak itu, Springer merasa bahwa
ia harus mengevaluasi kembali dirinya. Ia mulai
berpikir untuk lepas dari bayang-bayang ayah dan pengaruh buruk teman-temannya.
Ia pun memiliki pacar yang juga seorang Skindhead. Namun alih-alih putus malah
dinikahinya. ''Kala itu sedang hangat pemberitaan tentang perlawanan Intifada di
Palestina yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih dalam tentang gerakan
Intifada itu'', ungkap Springer. "Ayah
saya seorang rasis dan juga anti-Yahudi. Tapi kebencian ayah pada orang Arab lebih
besar dibandingkan kebenciannya pada Yahudi. Oleh sebab itu, ayah selalu
mendukung Israel. Tapi saya mengkaji kembali apa yang ada di pikiran saya saat
masih kecil, saya memutuskan untuk mencari tahu tentang perjuangan di Timur
Tengah itu," ungkap Springer. Ia lalu
membaca buku-buku sejarah dan politik di Timur Tengah.
Namun Springer merasa
kesulitan memahaminya, karena saat itu ia belum mengenal Islam dan Muslim. Sejak
kecil, ia sudah belajar membenci Islam dari ayahnya tanpa pernah mengerti
mengapa ia harus membenci Islam. Sedangkan sang istri sama sekali tidak
berminat membahas masalah-masalah tersebut. Ia mulai mempelajari
apa itu Islam, ajaran dan sejarahnya dari berbagai artikel dan sumber-sumber
dari internet. Karena meski waktu itu ia tinggal di Washington tapi ia belum
tahu tentang keberadaan komunitas Muslim di sana. “Jadi, saya benar-benar tidak
tahu harus bertanya pada siapa," ujar Springer.
Karena
pekerjaan istrinya pindah ke Inggris, Springer pun turut pindah. Untuk beberapa
waktu, Springer memanfaatkan kepindahannya ke Inggris untuk melakukan
perjalanan ke seluruh Eropa sambil mempelajari sejarah negara-negara Eropa.
Namun, pikirannya tetap tertuju pada Timur Tengah dan politik di sana. Springer
mulai serius untuk mempelajari ajaran Islam, ideologi dan sejarah Islam, serta
mulai membaca terjemahan Alquran. Dari
buku-buku yang dibacanya, Springer mengetahui bahwa banyak ritual-ritual
Kristen yang sampai saat ini dilakukan umat Kristiani adalah hasil inovasi
manusia, bukan berbasiskan pada ajaran Tuhan. Springer juga mencoba mempelajari
agama Yudaisme, yang menurutnya justru lebih "aneh".
"Mereka,
orang-orang Yahudi memperlakukan para nabi Allah dengan keji. Jika ajaran
Yudaisme meragukan, mengapa pula saya memilih Yudaisme sebagai petunjuk hidup
saya," tukas Springer.
Akhirnya ia
pun bertemu dengan seorang Muslim asal Libanon yang cukup faqih. Ia pun banyak
berdiskusi dengannya terkait dengan keinginannya masuk Islam. Setelah Muslim
Libanon itu benar-benar yakin bahwa Springer memang sudah bertekad bulat maka
ia pun mengajak Springer mengucapkan dua kalimat syahadat di sebuah masjid di
London. Namun
sayang, kabar gembira tersebut menjadi kabar yang sangat buruk bagi istrinya.
Sang istri sama sekali tidak berminat berdiskusi tentang Islam, menoleransi
suaminya masuk Islam pun tidak, apalagi mengikuti jejak sang suami. Sehingga
cerai pun tidak dapat dihindarkan lagi. Springer pun kembali ke Amerika dengan
berat hati karena gagal membimbing istri.
"Tapi alhamdulillah,
saya sekarang mengerti mengapa Allah memberikan semua peristiwa ini pada
saya," imbuhnya. Di AS Springer mendapatkan pekerjaan baru, yang mengharuskan dia bekerja di Alaska, tempatnya bekerja berjarak ratusan mil dari kota Anchorage dan Faribanks, yang
cukup banyak komunitas Muslimnya di wilayah Alaska. Karenanya, Springer
mengandalkan buku, internet dan sumber-sumber lainnya untuk terus mempelajari
Islam. Ia mulai berkenalan
dengan banyak Muslim setelah sering melakukan perjalanan bisnis ke Washington
DC.
Ia lalu dikenalkan dengan seorang Muslimah keturunan Arab Saudi. Springer
berkomunikasi lewat email dan telepon, tanpa pernah bertemu muka. Ia baru
melihat wajah "kekasih"nya setelah datang melamar ke keluarganya di
Washington DC. Keduanya lalu menikah, lengkaplah kebahagiaan Springer sebagai
seorang muslim. "Subhanallah,
bagaimana Allah menuntun saya pada Islam sangat menakjubkan, dari seorang yang
jauh dari agama dan dibesarkan dalam rumah yang penuh dengan ajaran kebencian,
Allah menuntun saya ke jalan-Nya"
"Allah selalu ada, memperhatikan saya. Dia
membimbing saya, melewati masa-masa berbahaya dan masa-masa yang buruk untuk
menjadi seorang lelaki sejati dan menjadi seorang Muslim. Orang bilang,
keajaiban tidak terjadi setiap hari, tapi cerita hidup saya membuktikan bahwa
perkataan itu salah," pungkas Springer.
"Tidakkah cukup bagimu atas bukti yang telah Allah SWT tunjukan, lalu nikmat mana lagi yang ingin kau dustakan?"
Inspirative
BalasHapustolong bedakan skinhead dengan neo-nazi!! mereka berbeda! kita marah saat orang mengelompokkan semua teroris adalah orang islam,namun disisi lain kita mengangggap semua skinhead itu neo nazi! baca buku,didik dirimu!
BalasHapus