Minggu, 16 September 2012

Prolog (Perencanaan Kreatif Televisi)



 Ahmad Muhajir, itulah nama saya, sebuah nama yang memilki arti perpindahan yang terpuji, yang lahir dari sebuah harapan dari kedua orang tua saya agar kelak nanti saya mampu menjadi manusia yang berguna di setiap perpindahan usia dalam hidup saya dan mampu memaknai setiap langkahnya. Saya lahir di jakarta, 11 Februari 1993, tepatnya di daerah karet tengsin, jakarta pusat. Kata orang tua saya, saya lahir dalam keadaan prematur karna pada usia kandungan tujuh bulan kurang saya sudah lahir, karna pada saat itu saya terlilit oleh usus dalam kandungan ibu saya dan hebatnya ibu saya melahirkan saya secara normal tanpa operasi.  Saya adalah anak ke empat dari empat bersaudara, saya memiliki satu saudara laki-laki dan dua saudara perempuan, kedua orang tua saya adalah seorang wiraswasta, bapak saya dari Pati,  Jawa Tengah dan ibu saya dari Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Banyak yang bingung di mana orang tua saya bisa bertemu, jawabannya di Jakarta, karna sejak lulus PGA (Pendidikan Guru Agama) di medan ibu saya merantau ke jakarta dan tinggal dengan abangnya atau paman saya, begitu juga dengan bapak saya, setelah tamat STM di Pati bapak saya merantau ke jakarta. Dan di Jakarta awal kisah kedua orang tua saya di mulai, mungkin pada masa itu Rasisme dan Stereotip terhadap suku masih sangat kental, Keluarga bapak saya tidak setuju terhadap hubungannya dengan ibu saya, karna bapak saya orang jawa dan ibu saya orang sumatra, keluarga bapak saya beranggapan bahwa orang sumatra kasar dan tidak akan bisa di ajak susah, bahkan keluarga bapak saya percaya terhadap ramalan jawa atau kejawen, yang meramalkan bahwa hubungan kedua orang tua saya tidak akan berhasil. Begitu juga dengan keluarga ibu saya, mereka tidak setuju dengan hubungan kedua orang tua saya, karna jika ibu saya menikah dengan laki-laki yang beda suku dengan ibu saya, maka penerusan nama suku akan berhenti di anaknya. Kecuali saya dan ketiga saudara saya menikah dengan pasangan dari suku ibu saya, yaitu Chaniago.

Kembali ke kisah kedua orang tua saya, singkat cerita berkat perjuangan kedua orang tua saya dan mungkin sudah takdir bahwa orang tua saya harus berjodoh, maka menikahlah kedua orang tua saya, hingga kini sudah memilki empat anak dan empat cucu. Dari lahir sampai saya berumur sekitar 4 atau 5 tahunan, saya sekeluarga tinggal di karet tengsin, kata keluarga saya saat saya bayi rumah kami pernah kebakaran, dan saat itu terjadi kami sedang pulang kampung, begitu sampai di jakarta tidak ada harta yang tersisa, hanya pakaian yang ada di tas koper dan sedikit uang. Sehingga kami harus tinggal dengan tetangga, sembari bantu-bantu di rumahnya dan kedua orang tua saya memulai usaha barunya dari nol, seiring waktu berjalan kami pindah dan mengontrak di daerah yang sama, hanya beda RT, seiring dengan usaha kedua orang tua saya berjalan, mereka menabung untuk membeli tanah dan membangun rumah di daerah tangerang, namun tidak jauh dari jakarta selatan. Hanya lima menit, tepatnnya di perbatasan kota tangerang dan jakarta.

Waktu terus berjalan, begitu juga dengan kehidupan keluarga kami yang mulai membaik, hingga sekitar tahun 1997 terjadi kebakaran lagi, banyak yang bilang di sengaja, karna tempat tinggal kami adalah daerah yang bisa di bilang menengah ke bawah dan akan di jadikan rumah susun oleh pemerintah setempat,  tapi syukurnya kontrakan tempat kami tinggal tidak terbakar. Hingga kedua orang tua sayapun memutuskan untuk pindah ke tangerang, karna rumah kami di sana sudah di bangun dan listrikpun sudah menjangkau daerah kami. Hingga sekitar tahun 1998 kami resmi tinggal di tangerang, dan kedua orang tua sayapun membuka usaha baru di sini. Setelah melewati masa-masa sulit dan kedua orang tua saya mampu bertahan hingga kini, kedua orang tua saya sudah mensarjanakan kedua anak perempuannya, karna anak yang pertama, yaitu abang saya lebih memilih kerja di banding kuliah, karna pada masa itu lulusan STM dan setaranya sudah cukup menjadi standar kerja di perusahaan-perusahaan swasta. Hingga kini saya yang masih berusaha untuk menjadi sarjana, kedua orang tua saya masih bergelut dengan usahanya.

Sebelum saya menjadi mahasiswa di UMB, saya dulu sekolah dasar di daerah kreo, tangerang, dekat dengan rumah. Selama enam tahun saya dan teman-teman saya tidak pernah di pisah kelasnya, karna memang muridnya yang terlalu sedikit jika di jadikan dua kelas, namun sangat penuh jika di jadikan satu kelas, bahkan ada beberapa meja yang seharusnya berdua ditempatkan bertiga. Dampak positifnya kami jadi sangat mengenal setiap perilaku individu teman kami, hingga sekarang jalinan silahturahmi kami masih berjalan. Begitu lulus SD, saya masuk SMP Hang Tuah 2, Seskoal, Jakarta Selatan. Kisah saya di SMP berjalan biasa-biasa saja, ada pertemanan yang sementara, permusuhan yang tidak jelas, dan sedikit drama percintaan yang bisa di bilang cinta monyet. Namun menjelang kelas tiga, saat-saat di mana saya akan lulus SMP, saya menemukan teman yang benar-benar menerima saya karna diri saya, dan saya tidak perlu berpura-pura menjadi pribadi yang lain. Karna masa di mana saya masih sangat labil ini, saya sering berganti-ganti kepribadian agar bisa di terima dalam kelompok-kelompok bermain atau geng, namun ketika saya merasa tidak nyaman saya akan pergi. Saya menemukan teman-teman terbaik saya justru di saat-saat kami akan berpisah, dan saya tidak pernah menyangka bahwa merekalah orang yang akan memahami saya dan akan saya pahami, padahal ada beberapa yang sebelumnya adalah musuh saya. Dan hubungan kami masih berjalan hingga kini, meskipun ada beberapa yang sudah tidak ada kabarnya.

Berlanjut ke kisah saya SMA, saya melanjutkan pendidikan saya di SMA Muhammadiyah 18, masih di daerah Seskoal, Jakarta Selatan. Saya masuk karna tidak ada pilihan lain, karna saya tidak di terima di SMA Negri. Sebagai siswa baru saya harus botak, dan begitu saya masuk SMA saya langsung bertemu dengan seorang teman yang benar-benar sehati dengan saya, dan kami saling memahami. Kami memilih untuk menjadi anak basis, atau anak-anak yang suka tauran di bandikan dengan anak-anak gaul yang suka memamerkan harta kedua orang tuanya, yang di luar sekolah tidak ada apa-apanya, bahkan tidak cerdas di sekolah, kami biasa memanggilnya anak kontrakan, karna mereka nongkrong di cefe yang depannya deretan kontrakan. Namun meskipun kami anak basis yang nongkrongnya di pinggir jalan untuk mencari musuh dari sekolah lain, gaya kami tetap modis, bahkan saat kami pacaran pasangan kami adalah wanita yang cantik. Karna beberapa wanita tertarik pada laki-laki yang nakal, begitu masuk kelas dua banyak dari teman-teman basis saya masuk ipa, namun saya dan teman sehati saya masuk ips. Karna semasa kelas satu saya hampir mau dikeluarkan karna ketahuan tawuran, sehingga saya di anggap tidak pantas untuk masuk ipa, padahal nilai saya selalu di atas standar dan tidak pernah alfa, dan itulah yang membuat saya masih bisa di pertahankan di SMA dan tidak di keluarkan. Dan teman saya memilih masuk ips untuk menemani saya karna hampir semua anak ips adalah anak-anak kontrakan. Dan hubungan kami dengan mereka sangat bertolak belakang, bahkan sudah sering ribut dan mereka selalu kalah. Tapi entah kenapa mereka tidak pernah mengakui bahwa kamilah yang memegang peran penting di sekolah, padahal di segi pelajaran kamipun meninggalkan mereka, bahkan saat ada perlombaan antar SMA se-Jakarta perwakilan dari SMA kami adalah anak-anak basis.

Mungkin kami di luar sekolah adalah sekumpulan anak-anak sekolah yang suka mencari keributan, tawuran, tukang palak, tapi kami hanya memalak anak-anak basis dari sekolah lain, bukan anak-anak sekolah yang memang hanya ingin pulang. Kami bisa membedakannya dari cara mereka berpakaian, tanda jika dia anak basis adalah dia selalu memakai switer atau jaket gelap, bercelana sekolah gantung, berkaos kaki tinggi, dan memakai tas besar, biasanya untuk menyimpan barang di tasnya, seperti celurit, golok, gir, atau senjata tajam yang muat di dalam tas. Kalo soal tertangkap polisi, kami sudah sering. Namun kasusnya tidak pernah di bawa ke sekolah, karna tidak ada barang bukti. Hanya di panggil orang tua dan kami di bebaskan, pastinya dengan sedikit uang, dan itu sudah jadi rahasia umum bahwa semua masalah yang berhubungan dengan polisi selalu menggunakan uang.

Persaingan kami dengan anak kontrakan terus berlanjut, hingga sebuah tragedi terjadi saat saya kelas dua akhir. Saat itu hari kamis sore, sedang lulus-lulusan angkatan 2010, basis angkatan saya 2011 dan 2010 sedang menunggu sekolah lain di seskoal untuk tauran. Akhirnya datanglah STM Bonjer 5 dari arah bayoran, yang ternyata ada dari mereka adalah anak kontrakan yang satu sekolah dengan kami. Karna bisa di bilang seskoal adalah kandang kami, kami paling mahir tauran di sini, bahkan ada beberapa dari kami yang menyamar sebagai warga untuk melukai lawan kami. Bentrokpun terjadi, sudah pasti kami menang. Hingga beberapa hari kemudian, tepatnya selasa siang menjelang sore. Sebuah hari yang biasa-biasa saja, tidak ada niatan kami untuk tawuran hari itu, namun ketika teman-teman kami yang baru pulang ingin ke tongkrongan kami di pinggir jalan seskoal, langsung di serang oleh sekelompok orang yang tadinya kami kira tukang ojek, sehabis menyerang mereka langsung langsung pergi dengan sepeda motor, namun dari mereka ada yang terjatuh. Ternyata dia adalah anak kontrakan, yang bisa di bilang di ketua gengnya, spontan kami kejar dan kami tangkap. Begitu melihat kedua teman kami yang baru pulang tadi terluka parah, kami lansung membawanya ke rumah sakit bersalin kartini di seskoal, namun tidak di terima dan kami larikan ke rumah sakit aminah dekat Universitas Budi Luhur. Sebagian dari kami membawa anak kontrakan tadi ke tongkrongan kami, karna terbakar emosi salah satu dari kami melayangkan pukulan, lalu kami semua langsung memukulinya, dia sempat kabur lalu kami tangkap dan kami pukuli lagi sampai koma. Mungkin warga di sekitar situ sudah bosan dengan ulah kami, mereka hanya berpura-pura tidak tahu, hingga TNI AL yang markasnya di seskoal datang, serta kami membubarkan diri.

Ke esokan harinya di sekolah nama kami satu persatu di panggil, ternyata orang tua dari anak kontrakan yang kemaren koma melaporkannya ke sekolahan dengan membawa polisi, ingin memenjarakan kami. Setelah kasus ini berjalan hampir seminggu, dan kami masih menjadi saksi, dan beberapa ada yang sudah menjadi terdakwa. Ternyata dari daftar nama yang di panggil, ada dari kami yang ayahnya pejabat dan yang pamannya kapolri, sehingga polisi yang menangani kasus ini tidak bisa berkutik, dan dari pihak kamipun ada korban serta bisa di tuntut balik. Sehingga orang tua anak kontrakan tadi memilih jalan kekeluargaan, dan mencabut tuntutannya. Satu lagi kejelakan dari hukum di negara ini, bahwa hukum akan melunak terhadap mereka yang punya kekuasaan. Setelah kasus ini di tutup, anak itu cukup lama tidak masuk sekolah. Begitu dia masuk, dia masih dalam pengobatan, lehernya dan kepalanya masih penuh perban jaitan, bekas sobek terkena senjata tajam oleh kami, begitu juga dengan teman kami yang di serang. Dan mulai saat itulah kami tidak lagi perang dingin, tapi kami langsung meributkan mereka jika ada masalah, walau itu masalah sepele, karna kami tau kami punya bekingan anak pejabat dan keluarga kapolri. Dan semenjak saat itu mereka mulai tidak terlihat tingkahnya lagi, bahkan saat kami membuat switer angkatan banyak dari mereka yang ikut membuat. Hingga kartu kelulusanpun di tangan, ada beberapa dari kami anak basis yang di terima di Universitas negeri, sebut saja namanya erik, dia teman sehati saya yang di terima di UIN begitu juga dengan rohman dan karim.

Seperti halnya di dunia ini, tidak pernah ada yang abadi. Begitu juga dengan massa, yang pasti akan berganti. Kisah sayapun berlanjut ke Perguruan Tinggi, menjadi Mahasiswa di Universitas Mercu Buana memang sudah rencana saya, dan saya memang tidak pernah tes masuk Universitas Negeri. Satu hal lagi yang membuat saya kesal, yaitu sebagai mahasiswa baru, saya harus botak. Satu semester saya jalani dengan rasa minder karna rambut  masih botak dan masih terlihat bahwa saya adalah mahasiswa baru. Semester berikutnya saya sudah merasa nyaman dengan dunia baru saya, dan sekarang saya sudah semester tiga, dan tidak terasa sudah setahun lebih saya kuliah. Dan saya masih dalam pencarian teman yang benar-benar mau menerima saya karna diri saya, teman yang akan saya pahami dan memahami saya.

1 komentar: