Ahmad Muhajir, itulah nama saya, sebuah nama yang memilki arti perpindahan yang terpuji, yang lahir dari sebuah harapan dari kedua orang tua saya agar kelak nanti saya mampu menjadi manusia yang berguna di setiap perpindahan usia dalam hidup saya dan mampu memaknai setiap langkahnya. Saya lahir di jakarta, 11 Februari 1993, tepatnya di daerah karet tengsin, jakarta pusat. Kata orang tua saya, saya lahir dalam keadaan prematur karna pada usia kandungan tujuh bulan kurang saya sudah lahir, karna pada saat itu saya terlilit oleh usus dalam kandungan ibu saya dan hebatnya ibu saya melahirkan saya secara normal tanpa operasi. Saya adalah anak ke empat dari empat bersaudara, saya memiliki satu saudara laki-laki dan dua saudara perempuan, kedua orang tua saya adalah seorang wiraswasta, bapak saya dari Pati, Jawa Tengah dan ibu saya dari Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Banyak yang bingung di mana orang tua saya bisa bertemu, jawabannya di Jakarta, karna sejak lulus PGA (Pendidikan Guru Agama) di medan ibu saya merantau ke jakarta dan tinggal dengan abangnya atau paman saya, begitu juga dengan bapak saya, setelah tamat STM di Pati bapak saya merantau ke jakarta. Dan di Jakarta awal kisah kedua orang tua saya di mulai, mungkin pada masa itu Rasisme dan Stereotip terhadap suku masih sangat kental, Keluarga bapak saya tidak setuju terhadap hubungannya dengan ibu saya, karna bapak saya orang jawa dan ibu saya orang sumatra, keluarga bapak saya beranggapan bahwa orang sumatra kasar dan tidak akan bisa di ajak susah, bahkan keluarga bapak saya percaya terhadap ramalan jawa atau kejawen, yang meramalkan bahwa hubungan kedua orang tua saya tidak akan berhasil. Begitu juga dengan keluarga ibu saya, mereka tidak setuju dengan hubungan kedua orang tua saya, karna jika ibu saya menikah dengan laki-laki yang beda suku dengan ibu saya, maka penerusan nama suku akan berhenti di anaknya. Kecuali saya dan ketiga saudara saya menikah dengan pasangan dari suku ibu saya, yaitu Chaniago.
Kembali ke kisah kedua orang tua
saya, singkat cerita berkat perjuangan kedua orang tua saya dan mungkin sudah
takdir bahwa orang tua saya harus berjodoh, maka menikahlah kedua orang tua
saya, hingga kini sudah memilki empat anak dan empat cucu. Dari lahir sampai
saya berumur sekitar 4 atau 5 tahunan, saya sekeluarga tinggal di karet
tengsin, kata keluarga saya saat saya bayi rumah kami pernah kebakaran, dan
saat itu terjadi kami sedang pulang kampung, begitu sampai di jakarta tidak ada
harta yang tersisa, hanya pakaian yang ada di tas koper dan sedikit uang.
Sehingga kami harus tinggal dengan tetangga, sembari bantu-bantu di rumahnya
dan kedua orang tua saya memulai usaha barunya dari nol, seiring waktu berjalan
kami pindah dan mengontrak di daerah yang sama, hanya beda RT, seiring dengan
usaha kedua orang tua saya berjalan, mereka menabung untuk membeli tanah dan
membangun rumah di daerah tangerang, namun tidak jauh dari jakarta selatan.
Hanya lima menit, tepatnnya di perbatasan kota tangerang dan jakarta.
Waktu terus berjalan, begitu juga
dengan kehidupan keluarga kami yang mulai membaik, hingga sekitar tahun 1997
terjadi kebakaran lagi, banyak yang bilang di sengaja, karna tempat tinggal
kami adalah daerah yang bisa di bilang menengah ke bawah dan akan di jadikan
rumah susun oleh pemerintah setempat,
tapi syukurnya kontrakan tempat kami tinggal tidak terbakar. Hingga
kedua orang tua sayapun memutuskan untuk pindah ke tangerang, karna rumah kami
di sana sudah di bangun dan listrikpun sudah menjangkau daerah kami. Hingga
sekitar tahun 1998 kami resmi tinggal di tangerang, dan kedua orang tua sayapun
membuka usaha baru di sini. Setelah melewati masa-masa sulit dan kedua orang
tua saya mampu bertahan hingga kini, kedua orang tua saya sudah mensarjanakan
kedua anak perempuannya, karna anak yang pertama, yaitu abang saya lebih
memilih kerja di banding kuliah, karna pada masa itu lulusan STM dan setaranya
sudah cukup menjadi standar kerja di perusahaan-perusahaan swasta. Hingga kini
saya yang masih berusaha untuk menjadi sarjana, kedua orang tua saya masih
bergelut dengan usahanya.
Sebelum saya menjadi mahasiswa di
UMB, saya dulu sekolah dasar di daerah kreo, tangerang, dekat dengan rumah.
Selama enam tahun saya dan teman-teman saya tidak pernah di pisah kelasnya,
karna memang muridnya yang terlalu sedikit jika di jadikan dua kelas, namun
sangat penuh jika di jadikan satu kelas, bahkan ada beberapa meja yang
seharusnya berdua ditempatkan bertiga. Dampak positifnya kami jadi sangat
mengenal setiap perilaku individu teman kami, hingga sekarang jalinan
silahturahmi kami masih berjalan. Begitu lulus SD, saya masuk SMP Hang Tuah 2,
Seskoal, Jakarta Selatan. Kisah saya di SMP berjalan biasa-biasa saja, ada
pertemanan yang sementara, permusuhan yang tidak jelas, dan sedikit drama
percintaan yang bisa di bilang cinta monyet. Namun menjelang kelas tiga,
saat-saat di mana saya akan lulus SMP, saya menemukan teman yang benar-benar
menerima saya karna diri saya, dan saya tidak perlu berpura-pura menjadi
pribadi yang lain. Karna masa di mana saya masih sangat labil ini, saya sering
berganti-ganti kepribadian agar bisa di terima dalam kelompok-kelompok bermain
atau geng, namun ketika saya merasa tidak nyaman saya akan pergi. Saya
menemukan teman-teman terbaik saya justru di saat-saat kami akan berpisah, dan
saya tidak pernah menyangka bahwa merekalah orang yang akan memahami saya dan
akan saya pahami, padahal ada beberapa yang sebelumnya adalah musuh saya. Dan
hubungan kami masih berjalan hingga kini, meskipun ada beberapa yang sudah
tidak ada kabarnya.
Berlanjut ke kisah saya SMA, saya
melanjutkan pendidikan saya di SMA Muhammadiyah 18, masih di daerah Seskoal,
Jakarta Selatan. Saya masuk karna tidak ada pilihan lain, karna saya tidak di
terima di SMA Negri. Sebagai siswa baru saya harus botak, dan begitu saya masuk
SMA saya langsung bertemu dengan seorang teman yang benar-benar sehati dengan
saya, dan kami saling memahami. Kami memilih untuk menjadi anak basis, atau
anak-anak yang suka tauran di bandikan dengan anak-anak gaul yang suka
memamerkan harta kedua orang tuanya, yang di luar sekolah tidak ada apa-apanya,
bahkan tidak cerdas di sekolah, kami biasa memanggilnya anak kontrakan, karna
mereka nongkrong di cefe yang depannya deretan kontrakan. Namun meskipun kami
anak basis yang nongkrongnya di pinggir jalan untuk mencari musuh dari sekolah
lain, gaya kami tetap modis, bahkan saat kami pacaran pasangan kami adalah
wanita yang cantik. Karna beberapa wanita tertarik pada laki-laki yang nakal,
begitu masuk kelas dua banyak dari teman-teman basis saya masuk ipa, namun saya
dan teman sehati saya masuk ips. Karna semasa kelas satu saya hampir mau
dikeluarkan karna ketahuan tawuran, sehingga saya di anggap tidak pantas untuk
masuk ipa, padahal nilai saya selalu di atas standar dan tidak pernah alfa, dan
itulah yang membuat saya masih bisa di pertahankan di SMA dan tidak di
keluarkan. Dan teman saya memilih masuk ips untuk menemani saya karna hampir
semua anak ips adalah anak-anak kontrakan. Dan hubungan kami dengan mereka
sangat bertolak belakang, bahkan sudah sering ribut dan mereka selalu kalah.
Tapi entah kenapa mereka tidak pernah mengakui bahwa kamilah yang memegang
peran penting di sekolah, padahal di segi pelajaran kamipun meninggalkan
mereka, bahkan saat ada perlombaan antar SMA se-Jakarta perwakilan dari SMA
kami adalah anak-anak basis.
Mungkin kami di luar sekolah
adalah sekumpulan anak-anak sekolah yang suka mencari keributan, tawuran,
tukang palak, tapi kami hanya memalak anak-anak basis dari sekolah lain, bukan
anak-anak sekolah yang memang hanya ingin pulang. Kami bisa membedakannya dari
cara mereka berpakaian, tanda jika dia anak basis adalah dia selalu memakai
switer atau jaket gelap, bercelana sekolah gantung, berkaos kaki tinggi, dan
memakai tas besar, biasanya untuk menyimpan barang di tasnya, seperti celurit,
golok, gir, atau senjata tajam yang muat di dalam tas. Kalo soal tertangkap
polisi, kami sudah sering. Namun kasusnya tidak pernah di bawa ke sekolah,
karna tidak ada barang bukti. Hanya di panggil orang tua dan kami di bebaskan,
pastinya dengan sedikit uang, dan itu sudah jadi rahasia umum bahwa semua
masalah yang berhubungan dengan polisi selalu menggunakan uang.
Persaingan kami dengan anak
kontrakan terus berlanjut, hingga sebuah tragedi terjadi saat saya kelas dua
akhir. Saat itu hari kamis sore, sedang lulus-lulusan angkatan 2010, basis
angkatan saya 2011 dan 2010 sedang menunggu sekolah lain di seskoal untuk
tauran. Akhirnya datanglah STM Bonjer 5 dari arah bayoran, yang ternyata ada
dari mereka adalah anak kontrakan yang satu sekolah dengan kami. Karna bisa di
bilang seskoal adalah kandang kami, kami paling mahir tauran di sini, bahkan
ada beberapa dari kami yang menyamar sebagai warga untuk melukai lawan kami.
Bentrokpun terjadi, sudah pasti kami menang. Hingga beberapa hari kemudian,
tepatnya selasa siang menjelang sore. Sebuah hari yang biasa-biasa saja, tidak
ada niatan kami untuk tawuran hari itu, namun ketika teman-teman kami yang baru
pulang ingin ke tongkrongan kami di pinggir jalan seskoal, langsung di serang
oleh sekelompok orang yang tadinya kami kira tukang ojek, sehabis menyerang
mereka langsung langsung pergi dengan sepeda motor, namun dari mereka ada yang
terjatuh. Ternyata dia adalah anak kontrakan, yang bisa di bilang di ketua gengnya,
spontan kami kejar dan kami tangkap. Begitu melihat kedua teman kami yang baru
pulang tadi terluka parah, kami lansung membawanya ke rumah sakit bersalin
kartini di seskoal, namun tidak di terima dan kami larikan ke rumah sakit
aminah dekat Universitas Budi Luhur. Sebagian dari kami membawa anak kontrakan
tadi ke tongkrongan kami, karna terbakar emosi salah satu dari kami melayangkan
pukulan, lalu kami semua langsung memukulinya, dia sempat kabur lalu kami
tangkap dan kami pukuli lagi sampai koma. Mungkin warga di sekitar situ sudah
bosan dengan ulah kami, mereka hanya berpura-pura tidak tahu, hingga TNI AL
yang markasnya di seskoal datang, serta kami membubarkan diri.
Ke esokan harinya di sekolah nama
kami satu persatu di panggil, ternyata orang tua dari anak kontrakan yang
kemaren koma melaporkannya ke sekolahan dengan membawa polisi, ingin
memenjarakan kami. Setelah kasus ini berjalan hampir seminggu, dan kami masih
menjadi saksi, dan beberapa ada yang sudah menjadi terdakwa. Ternyata dari
daftar nama yang di panggil, ada dari kami yang ayahnya pejabat dan yang pamannya
kapolri, sehingga polisi yang menangani kasus ini tidak bisa berkutik, dan dari
pihak kamipun ada korban serta bisa di tuntut balik. Sehingga orang tua anak
kontrakan tadi memilih jalan kekeluargaan, dan mencabut tuntutannya. Satu lagi
kejelakan dari hukum di negara ini, bahwa hukum akan melunak terhadap mereka
yang punya kekuasaan. Setelah kasus ini di tutup, anak itu cukup lama tidak
masuk sekolah. Begitu dia masuk, dia masih dalam pengobatan, lehernya dan
kepalanya masih penuh perban jaitan, bekas sobek terkena senjata tajam oleh
kami, begitu juga dengan teman kami yang di serang. Dan mulai saat itulah kami
tidak lagi perang dingin, tapi kami langsung meributkan mereka jika ada
masalah, walau itu masalah sepele, karna kami tau kami punya bekingan anak
pejabat dan keluarga kapolri. Dan semenjak saat itu mereka mulai tidak terlihat
tingkahnya lagi, bahkan saat kami membuat switer angkatan banyak dari mereka
yang ikut membuat. Hingga kartu kelulusanpun di tangan, ada beberapa dari kami
anak basis yang di terima di Universitas negeri, sebut saja namanya erik, dia
teman sehati saya yang di terima di UIN begitu juga dengan rohman dan karim.
Seperti halnya di dunia ini,
tidak pernah ada yang abadi. Begitu juga dengan massa, yang pasti akan
berganti. Kisah sayapun berlanjut ke Perguruan Tinggi, menjadi Mahasiswa di
Universitas Mercu Buana memang sudah rencana saya, dan saya memang tidak pernah
tes masuk Universitas Negeri. Satu hal lagi yang membuat saya kesal, yaitu
sebagai mahasiswa baru, saya harus botak. Satu semester saya jalani dengan rasa
minder karna rambut masih botak dan
masih terlihat bahwa saya adalah mahasiswa baru. Semester berikutnya saya sudah
merasa nyaman dengan dunia baru saya, dan sekarang saya sudah semester tiga,
dan tidak terasa sudah setahun lebih saya kuliah. Dan saya masih dalam
pencarian teman yang benar-benar mau menerima saya karna diri saya, teman yang
akan saya pahami dan memahami saya.
OMG!
BalasHapus